Media-AnakNegeri // Lampung, 3 Januari 2025 – Harapan rakyat Indonesia akan perubahan menuju kesejahteraan kian pudar, hanya dalam kurang dari 100 hari sejak Kabinet Merah Putih dilantik pada 20 Oktober 2024. Pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menuai sorotan tajam, terutama akibat kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Kebijakan ini datang di tengah kondisi ekonomi yang stagnan, memperburuk daya beli masyarakat dan meningkatkan risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Sepanjang tahun 2024, gelombang PHK telah melanda ribuan pekerja, memperlihatkan dampak nyata dari ketidakstabilan ekonomi nasional.
Namun, beban ekonomi rakyat yang kian berat ini diperparah oleh meningkatnya kasus korupsi di kalangan pejabat. Ironisnya, sejumlah kasus korupsi besar justru mendapatkan vonis ringan, bahkan muncul wacana pemaafan bagi koruptor dengan syarat pengembalian uang negara. Kebijakan ini memunculkan kekhawatiran bahwa penegakan hukum terhadap korupsi kian melemah.
Kesalahan Sistemik: Kapitalisme dan Demokrasi Transaksional
Masalah ini dianggap sebagai buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang mengedepankan kebebasan kepemilikan dan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta. Akibatnya, negara kehilangan kendali atas sumber daya strategis, bergantung pada utang, dan membebankan pajak kepada rakyat secara tidak adil.
Di sisi lain, sistem politik demokrasi yang pragmatis-transaksional juga dianggap menjadi akar persoalan. Transaksi politik yang melibatkan dana kampanye, barter jabatan, dan kolusi menciptakan lingkungan subur bagi korupsi. Data menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga awal 2022, lebih dari 170 kepala daerah telah terjerat kasus korupsi, angka yang terus bertambah setiap tahun.
Solusi Islam: Pemerintahan Bebas Pajak dan Anti Korupsi
Sebagai alternatif, Islam menawarkan sistem pemerintahan berbasis syariah yang mengutamakan keadilan, efisiensi, dan tanggung jawab moral penguasa. Dalam sistem Islam, pajak hanya diberlakukan dalam kondisi darurat dan tidak menjadi sumber utama pendapatan negara. Sebaliknya, anggaran negara bergantung pada pengelolaan sumber daya alam yang sepenuhnya dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat.
Sistem ini juga menjamin transparansi dan akuntabilitas melalui penerapan hukuman tegas terhadap pelaku korupsi, mulai dari penyitaan harta hingga hukuman mati, sesuai tingkat kejahatan. Selain itu, penguasa dipilih berdasarkan ketakwaan dan kapasitas, bukan melalui politik biaya tinggi yang membuka celah korupsi.
Khalifah Umar bin Khattab, salah satu pemimpin Islam terbaik, menjadi teladan dalam memberantas korupsi. Beliau tidak segan menyita harta tak wajar milik pejabat dan memastikan keadilan berlaku, bahkan terhadap keluarganya sendiri.
Penerapan syariah Islam secara menyeluruh dinilai sebagai solusi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, bebas pajak, dan pro-rakyat. Islam menawarkan sistem yang adil dan sempurna karena bersumber dari Allah SWT. Oleh karena itu, penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah dianggap sebagai jalan keluar dari krisis yang melanda bangsa ini.
Hikmah: Allah SWT berfirman, “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh dia akan merasakan kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Tha-ha [20]: 124).
Dengan ketegasan hukum dan keberpihakan kepada rakyat, diharapkan tercipta kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.
Eghi Wibowo