ANTARA BILANGAN MASA, CAPAIAN PERJUANGAN DAN BAHAYA DARI SIKAP YANG DIPAKSAKAN

oleh

Oleh: La Rangga Bimantara.

Ada sementara pihak yang meyakini bahwa proses mencontoh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perjuangan beliau harus satu paket antara masa yang dilewati dengan capaian-capaian yang harus dibukukan sebagaimana capaian Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Seperti, masa 3 tahun pertama dilakukannya sirriyatud da’wah (da’wah sembunyi-sembunyi), setelah itu tahun ke-4 harus segera da’wah terbuka (zahriyyatud da’wah), setelah 13 tahun di Makkah, maka wajib adanya wilayah hijrah sebagaimana layaknya Yatsrib (Madinah)nya Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana kaum Muslimin berkumpul untuk secara bersama-sama membangun wilayatul amni dimana syariah ditegakkan. Puncaknya, pemaksaan ini akan memuncak pada bilangan 23 tahun, dimana Rasulullah wafat dan Islam sempurna tegak pada seluruh sendinya dan Abu Bakar Ash Shiddiq melanjutkan kepemimpinan sebagai seorang Khalifah kaum Muslimin dalam Khilafah Ala Minhaajin Nubuwwah.

Pihak ini memutlakkan bahwa, manhaj perjuangan itu harus tuntas dalam satu generasi perjuangan, mulai perintisan dalam pembinaan aqidah, sirriyatut da’wah, zahriyatud da’wah, membangun zahriyatut tanzim, terbukanya friksi dari para musuh da’wah, hingga kemenangan (futuh) yang didamba berada ditangan para pejuang sebagaimana di masa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Pemikiran tersebut diambil tanpa memberi ruang bagi timbangan realitas atas kondisi ummat dan apa yang mereka mampu lakukan dalam standar rata-ratanya.

Syaikh Munir Muhammad Ghadban mengatakan dalam Mukaddimah buku beliau; Al Manhaj Al Haraki Li Sirah An Nabawiyyah, yang diterjemahkan dengan judul; Manhaj Haraki Dalam Siroh Nabawiyyah, Juz I hal.14, terbitan Pustaka Mantiq, Solo, 1995, bahwa pendapat tersebut sangatlah berbahaya, sebab kata beliau lamanya waktu adalah merupakan ketentuan Allah, bukan urusan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Sungguh, jika Kami mewafatkan kamu (sebelum kamu mencapai kemenangan), maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat). Atau Kami memperlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami ancamkan kepada mereka. Maka sesungguhnya Kami berkuasa atas mereka. Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. (QS. Az Zukhruf [43]: 41)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa, Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu merisaukan penentangan orang-orang musyrikin Mekah. Mereka pasti akan dihukum oleh Allah pada saat yang dikehendaki-Nya, baik di dunia dan pastinya di akhirat kelak. Kemungkinan hukuman di dunia itu dalam dua cara; Pertama, Allah akan menghukum mereka setelah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam wafat; dengan demikian hukuman itu tidak sempat beliau saksikan sendiri di dunia. Kedua, hukuman terhadap orang-orang yang kafir itu dilaksanakan Allah sekarang juga, yaitu; pada saat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.

Ilustrasi : Perang Badar

Bukti hukuman seperti itu menurut sebagian ulama, adalah terbunuhnya banyak pemimpin kaum kafir Mekah seperti pada perang Badr. Hal ini tentu karena kekuatan kala itu sudah dimiliki disaat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, karena terbunuhnya para tokoh kafir Quraisy dalam perang Badr menunjukkan kekuatan yang telah dimiliki oleh Rasulullah dan para sahabat sebagai asbab kemenangan, meskipun itu bukan faktor utama, karena pertolongan Allah lah yang menjadi penentu.

Fase Perjuangan Rasulullah SAW dalam Iqomatuddien

Nash yang berbunyi; “Sekiranya Kami mewafatkan kamu (sebelum engkau mencapai kemenangan)” menunjukkan adanya kemungkinan kedua, yakni wafatnya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum kemenangan itu diraih, sehingga beliau tidak sempat menyaksikan kemenangan dan tidak pula menyaksikan bagaimana Allah menimpakan adzab kepada para kafirin, musuh-musuh perjuangan. Hanya saja dalam hal ini, Allah memberi beliau kemenangan sehingga beliau menyaksikan apa yang Allah janjikan.

Pendapat yang memutlakkan bilangan waktu, selain bertentangan dengan dalil, juga riskan dengan terjadinya pemaksaan dan upaya rekayasa politis, bahkan berpotensi menjadi tunggangan politik pihak-pihak tertentu guna meraih tujuannya, sehingga kaum Muslimin bisa tergoda untuk menghalalkan segala cara demi meraih tujuan dalam deadline atau target waktu yang diinginkan.

Bagi mereka segala sesuatunya harus terjadi, meskipun dalam bentuk pemaksaan kehendak, dan gegabah dalam bertindak dengan menyeret paksa ummat dalam pusaran konflik yang tidak perlu bahkan tidak seimbang sama sekali.

Maka, komitmen terhadap tahapan-tahapan da’wah dengan misi besar rahmatan lil ‘alamin atau menebar rahmat kepada seluruh alam, harus terus diperkuat. Tahapan-tahapan harus dicukupi dengan proses pemantasan diri dan kelompok kaum Muslimin dalam aqidah mereka, pelaksanaan syariah dalam pribadi, keluarga dan masyarakat mereka dengan senantiasa menyelesaikan masalah lewat musyawarah, baik dalam menuntaskan satu tahapan maupun dalam memulai tahapan baru dengan wawasan perjuangan yang kuat untuk keseluruhan pihak yang terlibat, lewat pembinaan yang kompherensif.

Konsep Al Qur’an : Iman Hijrah Jihad

Kita tidak menutup sama sekali kemungkinan dilakukannya tindakan insidentil untuk satu hal parsial, namun semuanya harus tetap dalam frame utama sesuai fase yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, Allah memerintahkan kita untuk bersabar dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya lewat ibadah-ibadah ritual kita dan Allah jua berjanji untuk menindak para musuh pejuang agama-Nya.

Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar. (QS. Al Muzammil [73]: 10-11)

Sikap tertentu yang dilakukan seseorang tidak ditentukan oleh potensi pribadinya (saja), meskipun dia memiliki kelebihan diatas rata-rata yang lain, akan tetapi harus tetap dalam timbangan maslahat dan mudharat yang ditimbulkan dari sikap yang diambilnya untuk keseluruhan bagian dalam batang tubuh perjuangan. Meskipun demikian, untuk sosok tertentu yang bisa melakukan pembelaan diri dari tuduhan, fitnahan serta tindakan persekusi atas dirinya, Allah perbolehkan untuk membela diri sesuai kemampuan dan ukurannya. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:

Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS. Asy Syuuroo [42]:39)

Semoga pernyataan Allah dalam Al Quran surat Az Zukhruf [43], ayat 41 sampai 43 diatas akan menguatkan hati kita semua, bahwa mereka yang menentang itu memang betul-betul buta mata hatinya, karena itu perlu didakwahi lebih intensif lagi. Para pejuang harus bersahabat dengan ummat, bergaul akrab dengan mereka, tidak ada jarak antara kita dengan ummat, dengan tetap tegak di atas prinsip kebenaran, namun juga bersikap lapang dada terhadap perbedaan yang bersifat furu’ (cabang) yang tidak merusak nilai kebenaran. Mereka yang membenci tetap akan membenci, namun bila Allah berkehendak membuka hati mereka, maka hidayah akan mereka rengkuh dan merekapun akan berpihak dan berjuang pada kubu kebenaran, sehingga terbukalah pintu-pintu kebaikan menuju cahaya kemenangan sebagaimana harapan kita semua. Wallahu a’lam! [LRB].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *