Media-AnakNegeri, Bandar Lampung, 05 Agustus 2024 – Pertanyaan pada judul, seringkali diajukan oleh berbagai pihak terhadap Khilafatul Muslimin. Mereka yang berfikir dengan logika mayoritas dalam menilai kebenaran, akan melihat pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan penting, wajar dan harus dijawab oleh Khilafatul Muslimin dengan bilangan angka. Bilangan angka yang kami maksud, seperti; sekian banyak unsur yang mendukung berikut ribuan atau bahkan jutaan anggotanya yang telah bergabung, “Tinggal anda dan kelompok anda saja yang belum bergabung ini”. Setidaknya seperti itulah jawaban yang harus kita berikan menurut harapan mereka, sehingga mereka juga bersedia bergabung atau mendukung perjuangan ini, wallaahu a’lam!
Sepanjang sejarah, sejak Nabi-nabi dan para khulafa’ setelahnya, kebenaran dan da’wah memang selalu berawal dari satu titik, lalu didukung oleh sebahagian orang disekitar itu, kemudian tumbuh dan berkembang. Para Nabi sebelum Rasulullah justeru hanya dikhususkan untuk kalangan Bani Israil saja. Yang masih juga menjadi pertanyaan sekarang untuk Khilafah diantaranya ialah; siapa yang merintisnya?, kenapa dia?, kenapa bukan si A atau si B, ulama A atau ulama B?. Tak jarang pertanyaan tentang ‘siapa’ disini lalu mengarah kepada rassis, terkait latar kesukuan, kebangsaan, ilmu, kekayaan dan strata sosial lainnya.
Ketika sampai di Tho’if dalam usaha perluasan da’wahnya, Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa sallam menemui tiga bersaudara, yakni; Abdul Yalail bin Amru, Mas’ud bin Amr dan Hubaib bin Amr. Rasulullah mengajak mereka kepada Islam dan menjadi pembela Rasulullah dan da’wah Islam. Namun, respon ketiganya sungguh diluar dugaan. Mereka menolak dengan kalimat-kalimat penuh ejekan dan hinaan. Salah seorang diantara mereka berkata kepada Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa sallam; “Apa tidak ada manusia lain, hingga Allah mengutus kamu?”. (Manhaj Haraki dalam siroh Nabawi, Juz I, Syaikh Munir Muhammad Ghadban, hal. 113)
Apakah benar Rasulullah adalah sosok yang muncul begitu saja, bukan orang penting dan bukan pula dari keturuan terpandang?, tentu tidak!. Di Makkah saat itu beliau adalah pasangan keluarga kaya raya, bersama istri beliau Khadijah, yang notabene adalah pengusaha yang sudah terbiasa dengan aktifitas ekspor dan impor. Dua strata ke atas dari nasab Rasulullah, ada kakek beliau, Abdul Muthalib, pemimpin dan orang terkemuka di kota Makkah. Bahkan, semakin jauh kemasa lalu, beliau adalah keturuan Nabi Ibrahim alayhi salam, lewat istri beliau Hajar yang melahirkan Nabi Ismail alayhi salam. Lantas apa kurangnya Muhammad sehingga harus dihadapkan pada kalimat; “Apa tidak ada manusia lain , hingga Allah mengutus kamu?”
Kenapa Khilafah hanya dimulai oleh segelintir orang?. Sekali lagi; ‘kebenaran dan da’wah memang selalu berawal dari satu titik’. Kalimat tersebut bukan hanya sebagai pembenaran tanpa dasar, tapi amat sangat berdasar. Mari kita berselancar ke masa lalu. Setelah wafatnya baginda Nabi shalallaahu ‘alayhi wa sallam, disaat keluarga dan kaum Muslimin berduka dan sibuk mengurusi jenazah mulia baginda Nabi, Abubakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab dan lainnya justeru sibuk dengan suksesi, mencari pengganti Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa sallam sebagai pemimpin kaum Muslimin. Sebagian sahabat berkumpul untuk bermusyawarah di suatu tempat, yaitu; Tsaqifah Bani Sa’idah, guna memilih pengganti Rasulullah, sebagai memimpin ummat Islam. Musyawarah itu secara spontanitas diprakarsai oleh kaum Anshor, yang menunjukkan bahwa mereka lebih memiliki ‘kesadaran politik’ dari pada yang lain. Dari proses tersebut terpilih Abubakar Ash Shiddiq sebagai Khalifah yang kemudian dilakukan bai’at khassah (bai’at khusus/ pengangkatan), lalu dilakukan bai’at Aam (bai’at ketaatan oleh masyarakat Madinah di masjid Nabawiy).

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata: Tatkala Abubakar dilantik sebagai Khalifah, dia melihat sebagaian orang yang tidak begitu sreg. Maka dia berkata, “Wahai manusia, apakah yang menghalangi kalian, bukankah aku adalah orang yang paling berhak? Bukankah aku adalah orang yang pertama masuk Islam, bukankah…, bukankah… dia kemudian menyebutkan beberapa hal. (Tarikh Khulafa, Imam As Suyuti, Pustaka Al Kautsar, hal.78)
Peran sebahagian orang dalam memikirkan kepemimpinan adalah hal yang lumrah. Karena tidak semua orang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahu wa ta’ala pemikiran dan ‘kesadaran politik’ (kepemimpinan). Diantara yang memikirkan itupun, tidak semua Allah berikan keberanian menempuh resiko, mulai resiko menanggung ejekan, tuntutan pengayoman dan pembelaan atas kaum Muslimin, hingga pelaksanaan syariah Islam secara kaaffah.
Kenapa Khilafah hanya dimulai oleh segelintir orang? Apa yang telah kami tulis diatas baru terkait dengan kejadian pada masa Khalifah yang awwal, dimana kaum Muslimin masih menjadi satu kesatuan yang utuh, unsur dalam tubuh kaum Muslimin hanya dua, yakni; Muhajirin dan Anshor. Setelah masa Khulafa’ur Rasyidin, dimana Khilafah mulai bercorak kerajaan, justeru asal usul Khalifah menjadi monopoli klan tertentu. Mulai dari Mu’awiyyah yang menjadi monopoli Bani Umayyah, lalu setelahnya Bani Abbasiyyah dan terakhir Utsmaniyyah. Tentu pertanyaan, kenapa Khilafah hanya dimulai oleh segelintir orang? menemukan konteksnya pada masa itu, karena diluar kalangan mereka jelas tak punya hak kepemimpinan, alih-alih diajak untuk ikut memilih dan memikirkan suksesi Khalifah.
Lantas, apa yang seharusnya menjadi sikap kita?. Maka, patutlah kita lihat sikap para sahabat dalam merespon Nubuwwat, yakni ketika mereka mendengar Nabi shalallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Bani Israil dahulu telah dipimpin/ diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi (Bani Israil) wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” Para sahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa sallam menjawab: Tunaikanlah bai’at orang yang paling pertama, lalu yang sesudahnya, dan berikanlah kepada mereka haknya, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban dari mereka atas kepemimpinannya. (Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Kalimat dalam hadits; “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada kami?”adalah bentuk pertanyaan antisipatif dari para sahabat untuk menghadapi suatu fase yang Rasulullah sebutkan, dimana mereka ingin tetap menjadi pribadi taat dan terhindar dari maksiyat, yakni masa setelah masa kenabian dimana ada Khalifah didalamnya. Pada masa tersebut, akan ada pihak yang merintis kepemimpinan Khalifah, ada pula pihak yang tidak direpotkan dengan berbagai ikhtiar suksesi, mereka tinggal memberi pertolongan dan pembelaan kepada kepemimpinan yang sudah ada. Yang harus dipastikan; ia adalah Khalifah, bukan yang lain. Wallahu a’lam! (AMS)
[Media-AnakNegeri]