Media-anaknegeri — Penunjukan Tony Blair sebagai anggota Dewan Pengawas Investasi Nasional bukan sekadar formalitas. Ini adalah cerminan dari kegagalan sistem yang membuka celah bagi dominasi asing dalam kebijakan strategis negeri. Blair, sosok yang tak lepas dari kontroversi dan rekam jejak kelamnya di panggung global, kini berada di pusat pengambilan keputusan yang seharusnya mengutamakan kepentingan bangsa.
Namun, apakah kepentingan nasional benar-benar menjadi prioritas ketika seorang mantan Perdana Menteri Inggris, yang bertanggung jawab atas kehancuran Irak dan krisis global akibat perang yang didasarkan pada kebohongan, kini duduk di kursi penting dalam tata kelola investasi?
Jejak Darah Tony Blair: Dari Irak hingga Pengaruh di Nusantara
Nama Tony Blair tak bisa dilepaskan dari perang Irak 2003. Berbekal klaim palsu tentang keberadaan senjata pemusnah massal, ia menjadi arsitek invasi yang menewaskan ratusan ribu warga sipil, menghancurkan stabilitas Timur Tengah, dan meninggalkan luka sejarah yang tak tersembuhkan.
Namun, lebih dari sekadar agresi militer, Blair juga dikenal sebagai penganjur agenda politik Barat terhadap dunia Islam. Pada 16 Juli 2005, dalam konferensi Partai Buruh, ia dengan gamblang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap konsep Khilafah, menyebutnya sebagai ancaman bagi tatanan dunia yang ingin dipertahankan oleh Barat.
“Apa yang kita hadapi adalah ideologi iblis yang menuntut penghapusan Israel, penarikan Barat dari negara-negara Muslim, serta pembentukan rezim otoriter dengan penerapan hukum syariah sebagai langkah awal menuju satu Khilafah.”
Ucapan ini bukan sekadar retorika. Ia mencerminkan agenda yang lebih luas: memastikan dunia Islam tetap terpecah, terkungkung dalam sistem sekuler yang dikendalikan oleh kepentingan Barat, dan menjauh dari cita-cita independensi yang sesungguhnya.
Maka, kehadiran Blair dalam lingkaran kebijakan ekonomi dan investasi bukan hanya soal bisnis, tetapi bagian dari strategi geopolitik untuk memastikan dominasi asing tetap kuat di negeri ini.
Sistem yang Gagal: Mengapa Kita Membiarkan Figur Kontroversial Mengendalikan Investasi?
Keputusan menunjuk Blair bukanlah kesalahan yang terjadi secara tiba-tiba. Ini adalah dampak dari sistem yang sejak awal telah dirancang untuk tunduk pada kepentingan global.
Di balik jargon investasi dan pertumbuhan ekonomi, ada upaya sistematis untuk menjadikan kebijakan nasional tetap sejalan dengan kepentingan asing.
Ketika tokoh seperti Blair diberi akses untuk mengawasi aliran investasi, apakah kita masih bisa berbicara tentang kedaulatan ekonomi? Apakah kepentingan rakyat benar-benar diperhitungkan, atau hanya menjadi komoditas dalam permainan geopolitik yang lebih besar?
Yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan sekadar urusan ekonomi. Ini adalah tanda bahwa sistem telah terbuka lebar bagi infiltrasi ideologi asing yang selama ini berusaha menghambat kebangkitan dunia Islam.
Saatnya Menolak Penjajahan Gaya Baru dan Tegakkan Keindahan Islam
Sejarah telah menunjukkan bahwa keterlibatan tokoh-tokoh seperti Blair dalam kebijakan negara-negara Muslim hanya membawa kehancuran.
Dari Irak hingga Afghanistan, dari Libya hingga Palestina, pola yang sama terus terulang: kepentingan Barat selalu didahulukan, sementara rakyat yang menjadi korban.
Kini, saat pengaruh mereka semakin mengakar di negeri ini, kita dihadapkan pada pilihan: tetap diam dan membiarkan penjajahan gaya baru terus berlanjut, atau bangkit melawan sistem yang telah gagal melindungi kepentingan umat.
Sudah saatnya umat Islam bersatu, menolak campur tangan asing dalam kebijakan nasional, dan kembali kepada solusi sejati: menegakkan Khilafah ala Minhajinnubuwwah sebagai satu-satunya sistem yang benar-benar berpihak pada kemaslahatan umat.
Perlawanan bukan hanya dalam bentuk protes, tetapi dengan membangun kesadaran bahwa hanya dengan kembali kepada sistem Islam yang hakiki, kita bisa terbebas dari cengkeraman kekuatan asing yang telah lama menindas umat.
Penunjukan Blair adalah peringatan keras. Namun, ini juga bisa menjadi momentum kebangkitan bagi mereka yang sadar bahwa kedaulatan sejati tak akan pernah tercapai dalam sistem yang mengabdi pada kepentingan asing.
Eghi Wibowo