“KHILAFAH ADALAH JAMAAH BUKAN NEGARA”
Oleh: AMS.
Sebelum Khilafatul Muslimin dimaklumatkan (1997), pada awal dekade 90-an di beberapa tempat di Indonesia sudah eksis beberapa kelompok kajian keislaman yang secara intensif mengkaji Al Quran dan Sunnah. Para murobbinya dikenal sebagai “mereka yang melawan arus” dari era 80-an dan para anggotanya dikenal sebagai pribadi yang gigih menghidupkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat.
Namun, karena belum memiliki bentuk yang “jelas” mereka diidentifikasi dengan berbagai macam sebutan, mulai dari yang positif hingga yang negatif, dari sebutan yang wajar sampai yang berlebihan, seperti dituduh sesat, agama baru, punya nabi sendiri, kitab suci sendiri dan lainnya.
Setelah Khilafatul Muslimin dimaklumatkan mulailah identitas nama jelas disebutkan oleh masyarakat. Itupun karena baru mendengar (lagi), kata Khilafah sering dianggap semakna dengan kata khilaf (keliru atau salah) dan khilafiyah (perbedaan pendapat atau pandangan), “mereka orang-orang khilaf” kata sebagian masyarakat yang belum simpati, “mereka ingin menumbuh suburkan khilafiyah” kata sebagiannya lagi. Dalam masa perintisan Risalah Al Khilafah sebagai cikal bakal Tabloid Al Khilafah yang kemudian bermetamorfosis menjadi Majalah Islam Al Khilafah, redaksi pernah membuat daftar tema khutbah Jum’at yang berisi 138 tema pilihan, salah satunya nomor urut ke-71 ada tema; “Khalifah, Khilafah dan Khilafiyah” sebagai ikhtiar redaksi untuk menjelaskan kepada ummat atas tiga kata yang telah ‘disalah pahami’ dan tentu saja berdampak buruk, sehingga perlu ada penjelasan.
Sisi lain Khilafah Ustmaniyyah yang runtuh pada tahun 1924, adalah meninggalkan jejak-jejak wilayah kekuasaan yang membentang di 2/3 bumi, kekuatan militer yang melegenda dan kecanggihan senjata mutakhirnya kala itu. Dari semua aspek itu kaum Muslimin mengambil kesimpulan bahwa; Khilafah identik dengan sebuah negara yang kemudian disebut-sebut berasal dari bahasa Arab dengan kata daulah (daala-yaduulu-daulah). Muncul kemudian slogan-slogan seperti; Khilafah itu adalah sebuah negara, negara Islam itu adalah Khilafah, Khilafah itu harus punya wilayah kekuasaan, Khilafah harus melaksanakan hukum secara sempurna.
Gambaran Khilafah sebagai sebuah daulah (negara) tidak lagi sederhana, jauh lebih “ideal”, bahkan bisa dikata lebih rumit dari kenyataan yang pernah ada sekalipun, sehingga menjadi beban tambahan yang membuat kaum Muslimin semakin “susah bangun” dari tidur panjangnya, karena selimut mereka lebih berat dari bobot tubuhnya, terakumulasi di dalamnya beban nasionalisme sempit, pertentangan antar mazhab, khilafiyah yang kaku, kejumudan dan lainnya.
Apakah benar Khilafah identik dengan negara?, apakah memang ada dalil Al Quran dan Sunnah yang secara jelas menyebutkan Khilafah sebagai sebuah negara? Dalam Al Quran surat Al Baqarah [2] ayat 30 Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman; Inni jaa’ilun fil ardhi khaliifah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi), kemudian dalam surat Faathir [39] ayat 35 disebutkan pula; Huwalladzii Ja’alakum Kholaa-ifa fil ardh (Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi). Dalam surat An Nisa ayat 59, Allah subhaanahu wa ta’ala menyebutkan kewajiban taat kepada ulil amri setelah Allah dan Rasul-Nya. Kemudian, dalam menyebutkan janji-Nya kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh, Allah menyebutkan kalimat; “layastakhlifannahum fil ardh” (akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi) dan “kamastakhlafalladziina min qoblihim” (sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa). (QS. An Nuur [24]: 60).
Kalaupun ada kata yang sama akar-nya dengan kata daulah, adanya dengan makna bergilir atau beredar, yakni; dalam QS. Ali Imran [3]: 140 dan dan QS. Al Hasyr [59]: 7 sebagai berikut:
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”. (QS. Ali Imran [3]: 140).
“Supaya harta itu jangan beredar (duulatan) di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS. Al Hasyr [59]: 7).
Surat Ali Imran [3], ayat 140 berkonotasi pada perguliran kemenangan dan kekalahan terkait dengan perang Badr dan perang Uhud, sedangkan surat Al Hasyr [59], ayat 7 berkonotasi pada sistem peredaran harta yang benar dalam tata kelola ekonomi Islam.
Selanjutnya jika kita melihat hadits Rasulullaah sholallaahu ‘alayhi wa sallam, diantaranya kita dapati beliau menubuwatkan, “Dahulu bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya, sesungguhnya setelahku ini tidak ada Nabi dan akan ada setelahku beberapa Khalifah bahkan akan bertambah banyak, sahabat bertanya: “Apa yang tuan perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka haknya. Maka sesungguhnya Allah akan menanya mereka tentang hal apa yang diamanatkan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/204.).
Kita dapati dari hadits tersebut kalimat, “Wa satakuunu khulafaa” (akan ada Khalifah-khalifah). Dalam hadits riwayat Ahmad juga disebutkan bahwa; “Setelah itu akan kembali sistem Khilafah ala minhaajin nubuwwah, kemudian Nabi pun diam” (HR. Ahmad). Selain itu, dalam sebuah potongan dari hadits yang cukup panjang, dari shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Fitan: IX/65, Muslim, Shahih Muslim: II/134-135 dan Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah:II/475, ada disebutkan, kalimat “Talzamu jamaa’atal Muslimiina Wa Imaamahum” (Ber-iltizamlah kalian kepada jama’ah kaum Muslimin dan imam mereka) sebagai solusi bagi seluruh permasalah ummat. Sehingga jelaslah bahwa; baik dari Al Quran maupun sunnah tidak kita temukan kata daulah yang mengarah kepada sistem kepemimpinan kaum Muslimin, apalagi kemudian mau dipadukan dengan sebutan; negara Khilafah, yang kita temukan justeru kata; Ulil Amri, Jama’ah, Imam, Khilafah dan Khalifah.
Ibnu Al Mandzur (wafat 711 H/1211 M) yang mengumpulkan perkataan orang Arab asli di dalam kamusnya yang terkenal; Lisan Al ‘Arab mengatakan bahwa; kata daulah tidak pernah digunakan dengan pengertian negara. Bahkan dikatakan bahwa kata daulah sebagai padanan kata negara adalah kata asing yang tidak dikenal baik zaman jahiliyyah maupun pasca Islam ada. Beliau hanya mengatakan bahwa; kata daulah atau duulah sama maknanya dengan; al uqbah fii al maal wa al harb (perputaran kekayaan dan peperangan), artinya suatu kumpulan yang secara bergilir menggantikan kumpulan yang lain. Maka, dalam sejarah penggunaan kata daulah untuk sebuah kepemimpinan dimulai dari masa Abbasiyah berkuasa, namun dengan makna hakiki kemenangan atau giliran, yakni giliran untuk melanjutkan kekuasaan dari pemegang giliran sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pengertian yang dikandung dalam surat Ali Imran [3], ayat 140 dan surat Al Hasyr [59], ayat 7. Jika kita baca buku Tarikh Khulafa’-nya, Imam Jalaluddin As Suyuthi, pergiliran di sini ini tidak lantas dimulai dari kekuasaan, apalagi kekuasaan mutlak atas pemegang giliran sebelumnya, bahkan Abbassiyyah harus berbagi wilayah dengan sisa Bani Umayyah yang melarikan diri ke Andalusia, Spanyol dan berkuasa selama dua setengah abad di sana.
Dalam khazanah ilmiah para ulama’, Khilafah mulai disebut-sebut dalam wujud negara (daulah) pertama kali dicetuskan salah satunya oleh Ibnu Khaldun dan sebelumnya Ibnu Taimiyah. Dalam kitab beliau Al Muqaddimah, Ibnu Khaldun (ditulis pada tahun 779 H) yang merupakan pendahuluan dari kitab beliau Al Ibar. Ibnu Khaldun yang dianggap sebagai pencetus filsafat sejarah menulis Al Muqaddimah dari hasil studi fokusnya pada sejarah pemikiran Islam dengan ramuan realitas politik yang dialaminya di Tunisia (Afrika) dan Andalusia (Spanyol) yang kala itu menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Islam, sehingga interaksi sosial politik tidak sedikit mempengaruhi kesimpulan beliau tentang konsep negara dalam Islam. Ibnu Khaldun memulakan kajiannya dari realitas manusia sebagai makhluk sosial yang tak dapat dipisahkan dari kebutuhannya akan orang lain (Al Muqaddimah, hal. 41), sehingga perlu ada usaha bersama untuk memenuhi kebutuhan demi memper tahankan dan melanjutkan kehidupan. (Al Muqaddimah, hal. 42). Kajian beliau berlanjut pada kebutuhan manusia untuk membela diri, sehingga organisasi kemasyarakatan menjadi sebuah keharusan (Al Muqaddimah, hal. 43). Dalam keorganisasian tersebut tentu dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengaruh berikut para pembantunya, sehingga terbentuklah sebuah dinasti (daulah/ negara) atau kerajaan. (Al Muqaddimah, hal. 139). Kesimpulan inilah salah satunya yang amini oleh mereka yang ingin menegakkan khilafah dengan konsep negara.
Kita tentu tidak bermaksud menyalahkan seorang ulama hebat sekelas Ibnu Khaldun, beliau menulis kitabnya dimasa kejayaan sebuah pemerintahan, beliau tidak menulisnya di masa perintisan sebuah kepemimpinan, beliau bahkan merasakan sebuah pergolakan politik dalam proses penguatan dari sistem pemerintahan. Karenanya, beliau menulis kitabnya berdasarkan analisis atas data-data objektif yang disaksikan dan dialaminya sendiri. Kesalahan kita adalah mengadopsi sepotong cerita mengenai kekuasaan Khilafah dan meng identifikasinya sebagai satu-satunya “wajah Khilafah”, tanpa memberi ruang pada Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan dan wadah persatuan ummat dalam segala keadaannya.
Allah SWT memerintahkan kita untuk bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa, “Ittaqullaaha haqqa tuqaatih” (bertaqwalah dengan sebenar-benarnya taqwa) (Qs. Ali Imran [3]: 102), kalimat tersebut dibatasi oleh Allah dengan ayat yang lain, “Fattaqullaah mastatho’tum” (bertaqwalah sesuai dengan kemam puanmu), (Qs. At Taghobun [64]: 16), yang kita pahami sebagai sebuah motivasi agar bersungguh-sungguh dalam beramal untuk mendapatkan hasil maksimal dari nilai ibadah, namun tetap sesuai kadar kemampuan setiap orang tanpa memaksakan diri. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata; “Tidak ada kewajiban apabila tidak mampu dan tidak ada yang haram jika keadaan darurat”. As Sa’di juga berkata; “Wajib melakukan yang diperintahkan seluruhnya, jika mampu mengerjakan sebagiannya dan sebagiannya tidak mampu, maka yang mampu dikerjakan tersebut tetap harus dikerjakan”. Ulama lain menyebutkan qa’idah; “Maa laa yudriku kulluhu laa yutriku kulluhu” (Jika tidak mampu dikerjakan semuanya, maka jangan meninggalkan semuanya).
Allah SWT memerintahkan kita untuk bersatu dan melarang kita berpecah belah dalam menegakkan Islam. Hal ini berlaku dalam segala waktu dan keadaan, didalamnya terdapat hal yang ringan bahkan sangat enteng, sehingga banyak yang meremehkannya, pun terdapat hal yang berat sampai tidak mungkin dilaksanakan sebagaimana kondisinya. Maka berdasarkan berbagai dalil Al Quran dan Sunnah serta qa’idah-qa’idah yang berlaku, tinggal ditakar mana yang bisa dilaksanakan dan mana yang belum bisa dilaksanakan, agar kita tidak meninggalkan semua amalan hanya karena ada sebahagian yang berat dan masih mustahil atau sebaliknya memaksakan diri pada hal yang berat dan diluar kemampuan karena berpatokan pada hal-hal yang mudah dan enteng. Sementara kewajiban bersatu sendiri sama sekali tidak terkait dengan kekuasaan atau kedaulatan sebuah negara yang terbatas dan tidak boleh dibatasi oleh wilayah teritorial tertentu, sehingga kita yakini pelaksanaan kewajiban berjamaah tidak memiliki halangan bagi mereka yang mengetahuinya, kecuali persoalan iman dan semangat ketaatan.
Antara kewajiban dan kondisi yang kita alami, bisa saja ditakar dan disimpulkan sendiri-sendiri untuk ditindaklanjuti juga sendiri-sendiri, namun begitu terkait dengan kehidupan sosial, maka sebagaimana kesimpulan Ibnu Khaldun, kita membutuhkan kepemimpinan. Hanya saja kita diajarkan ber-Khilafah dan ber-Khalifah bukan berasal dari sebuah kesimpulan tapi kewajiban yang nyata. Khalifah adalah Imam bagi kaum Muslimin, kepadanya diberikan wewenang oleh syariah untuk menimbang dan memilihkan satu atau lebih persoalan berdasarkan skala prioritasnya untuk dilaksanakan oleh ummat yang majemuk, yang bahkan mungkin diperselisihkan, sebuah qa’idah menye butkan “amrul imam yarfa’ul khilaaf” (Perintah Imam menghapus perbedaan).
Jika karena tidak adanya wilayah kekuasaan, dan Khilafah itu adalah berwujud negara, maka begitu banyak kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan, bukan semata karena tidak adanya kemampuan, melainkan karena tidak adanya Imam yang mengarahkan tentang apa yang harus dilaksanakan sesuai potensi yang ada dan menunda hal-hal yang belum mampu dilaksanakan. Maka, Khilafah adalah Al Jama’ah dimana ada Khalifah dan warganya yang senantiasa berfikir untuk melaksanakan amal shaleh dalam segala kondisi dan kemampuannya, meskipun mereka belum memiliki kekuasaan, namun semangat persatuan dan ketaatan mewarnai kehidupan mereka sampai Allah menentukan apa yang pantas mereka dapatkan pada masa-masa yang akan datang. Walaahu a’lam!








It’s refreshing to find something that feels honest and genuinely useful. Thanks for sharing your knowledge in such a clear way.