Bandar Lampung, 9 Mei 2025 – Tiga orang advokat dari Kantor Hukum Syech Hud Ismail, S.H. & Rekan, mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Mereka menuntut keadilan dan kepastian hukum atas tindakan yang diduga melanggar hukum oleh aparat kepolisian terhadap klien mereka, almarhum Bapak Dasum.
Surat terbuka yang ditandatangani oleh Syech Hud Ismail, S.H., Alex Sitanggang, S.H., dan Cut Aulia Zahra Rahayu tersebut, mengungkapkan dugaan intimidasi, penyitaan tidak sah, dan pengabaian terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Rp500 Juta Tak Kembali, Sertifikat Tanah Disita
Kasus ini bermula ketika almarhum Bapak Dasum menyetorkan dana sebesar Rp500 juta dalam bentuk simpanan berjangka kepada BMT Dana Mulya Syariah, yang dikelola oleh Muhajir, S.Pdi, pada 6 Juli 2018.
Setelah berjalan lebih dari 250 hari tanpa kejelasan atas dana tersebut, Bapak Dasum dan pihak BMT membuat perjanjian pada 15 Maret 2019. Namun, perjanjian itu juga tidak membuahkan penyelesaian.
Akhirnya, Dasum menggugat secara perdata melalui Pengadilan Agama Kalianda pada Juli 2020. Gugatan ini dikabulkan melalui putusan verstek No. 0965/Pdt.G/2020/PA KLA tanggal 18 Agustus 2020.
Putusan menyatakan bahwa perjanjian sah, tergugat wanprestasi, dan memerintahkan pengembalian dana Rp500 juta atau penyerahan jaminan sesuai perjanjian.
Namun, sepuluh hari setelah gugatan diajukan, kediaman Bapak Dasum didatangi sejumlah penyidik dari Polres Lampung Selatan, Polsek Candipuro, serta aparatur desa.
Dalam peristiwa itu, sebagaimana dijelaskan dalam surat terbuka, para penyidik diduga melakukan intimidasi agar Dasum menyerahkan sertifikat tanah atas nama Ahmad Wahid, dengan ancaman akan dipenjara jika tidak menyerahkannya. Tidak ada surat tugas atau prosedur penyitaan yang ditunjukkan saat itu.
“Karena merasa terintimidasi, akhirnya SHM Nomor 01290 atas nama Ahmad Wahid diserahkan dan diterima oleh Briptu I Wayan Budiana dari Satreskrim Polres Lampung Selatan,” ujar Syech Hud dalam keterangan tertulisnya.
Putusan Inkracht, tapi Hak Klien Diabaikan
Dalam suratnya, para pengacara menegaskan bahwa putusan Pengadilan Agama telah inkracht dan menyatakan bahwa objek jaminan—termasuk tanah yang bersertifikat tersebut—harusnya menjadi milik penggugat (Dasum).
Mereka juga menekankan bahwa tindakan pengambilan paksa sertifikat oleh penyidik adalah bentuk pelanggaran hak asasi dan ketentuan hukum acara pidana.
“Penyitaan hanya dapat dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, apalagi tanpa surat tugas,” kata Alex Sitanggang, menyinggung pelanggaran terhadap KUHAP dan prinsip-prinsip HAM.
Pertanyaan atas Peran Penyidik dan Relevansi Perkara Pidana
Tim hukum juga menyoroti tidak adanya hubungan hukum antara klien mereka dengan perkara pidana yang dilaporkan oleh seseorang bernama Darto, berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/B/-1748/XI/2019.
Mereka menegaskan bahwa klien mereka bukan pelapor maupun terlapor dalam kasus tersebut, sehingga sertifikat tanah tidak seharusnya disita dalam rangka penyidikan perkara itu.
Lebih lanjut, surat tersebut mengutip Perma Nomor 1 Tahun 1956 dan Surat Edaran MA No. 4 Tahun 1980, yang pada intinya mengatur bahwa ketika terdapat sengketa perdata dan pidana yang berkaitan, maka perkara perdata harus diputuskan terlebih dahulu sebelum proses pidana dilanjutkan.
Desakan kepada Presiden dan Kapolri
Dalam penutup surat terbuka itu, tim pengacara mendesak Presiden dan Kapolri untuk turun tangan menyelesaikan persoalan ini demi tegaknya hukum dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat kecil.
“Kami meminta agar Presiden Republik Indonesia dan Kapolri memerintahkan penegakan hukum yang objektif, profesional, dan berlandaskan prinsip keadilan, serta memberikan perlindungan hukum terhadap keluarga almarhum Dasum atas perlakuan sewenang-wenang yang dialami,” pungkas Syech Hud.
Kantor Hukum Syech Hud Ismail & Rekan menyatakan siap membawa perkara ini ke jalur hukum lebih lanjut jika tidak ada penyelesaian yang adil.
[Editor : Eghi Wibowo]