Di kota Makkah, di masa awal dakwah Islam, hiduplah seorang pemuda yang dikenal dengan keberanian dan keteguhannya dalam beriman. Ia adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah ﷺ.
Sejak muda, ia telah menerima Islam dengan sepenuh hati. Namun perjalanan imannya tidaklah mudah. Ujian berat datang dari orang yang paling ia cintai — ibunya sendiri.
Sang ibu, seorang wanita yang selama ini mencintainya dengan tulus, merasa terpukul dan marah ketika mengetahui Sa’ad meninggalkan agama nenek moyang mereka. Ia menolak ajaran baru yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ. Dengan mata berkaca-kaca, ia berkata kepada putranya:
“Wahai Sa’ad, aku tidak akan makan dan tidak akan minum hingga engkau meninggalkan agama Muhammad. Jika engkau tetap bertahan, aku akan mati karena kelaparan, dan orang-orang akan mencelamu karena membiarkan ibumu mati demi agamamu.”
Hati Sa’ad bergetar mendengar kata-kata itu. Ia dikenal sebagai anak yang sangat berbakti dan lembut terhadap ibunya. Namun kali ini, cinta kepada Allah harus diuji di atas segalanya. Dengan suara mantap dan penuh keyakinan, Sa’ad berkata:
“Wahai ibuku, demi Allah, seandainya engkau memiliki seratus nyawa, lalu satu demi satu keluar dari jasadmu, aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku ini.”
Ucapan itu begitu tegas dan tulus. Sang ibu yang bersikeras menahan lapar dan haus akhirnya menyadari bahwa putranya tidak akan berpaling dari keyakinannya. Ia pun menyerah dan kembali makan serta minum.
Meski ibunya pernah berusaha menentangnya, Sa’ad tetap memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Ia membuktikan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan durhaka kepada orang tua, tetapi menempatkan ketaatan kepada Allah di atas segalanya.
Peristiwa ini begitu agung hingga Allah menurunkan firman-Nya dalam Al-Qur’an:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, tetapi pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
— (QS. Luqman: 15)
Kisah Sa’ad bin Abi Waqqash adalah pelajaran berharga tentang makna keteguhan iman.
Bahwa cinta kepada Allah harus menjadi yang tertinggi, bahkan di atas cinta kepada keluarga sendiri. Namun dalam berpegang teguh pada keyakinan, Islam tetap memerintahkan kita untuk memperlakukan orang tua dengan kelembutan dan hormat.
Kelak, Sa’ad menjadi salah satu panglima besar dalam sejarah Islam. Ia turut serta dalam berbagai peperangan, termasuk Perang Qadisiyyah, yang menjadi jalan bagi penaklukan Persia.
Keimanan yang kokoh sejak masa muda menjadikannya bukti nyata bahwa Allah memilih hati yang teguh untuk menegakkan agama-Nya.
sumber : https://www.facebook.com/share/1Lw1uzke75/







