ALI & BAJU BESI YANG HILANG

oleh

Bagaimana rasanya kalah di pengadilan atas barang yang sudah jelas milikmu?

Kisah ini terjadi pada masa kepemimpinan Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat umat Islam. Suatu hari, beliau kehilangan baju besi kesayangannya, baju besi yang sering ia gunakan dalam peperangan, dan menjadi bagian dari perjalanan panjang perjuangannya membela agama Allah.

Beberapa waktu kemudian, ketika sedang berjalan di pasar, Ali melihat seorang pria non-Muslim membawa baju besi yang sangat mirip dengan miliknya. Tanpa menuduh dengan kasar, beliau menghampiri pria itu dengan tenang dan berkata,
“Wahai lelaki, baju besi itu adalah milikku. Beberapa hari lalu ia terjatuh dari untaku.”

Namun pria itu menjawab, “Tidak, baju ini milikku. Aku membelinya dengan cara yang sah.”

Terjadi perdebatan singkat di antara keduanya. Namun, sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi keadilan, Ali tidak memaksa. Ia tidak menggunakan kedudukannya sebagai khalifah untuk mengambil barang itu dengan kekuasaan, melainkan memilih jalan hukum. Dengan penuh ketenangan, ia berkata,
“Kalau begitu, mari kita bawa perkara ini ke pengadilan.”

Pengadilan pun digelar. Yang bertindak sebagai hakim adalah Syuraih al-Qadhi seorang hakim yang dikenal karena ketegasan, kecerdasan, dan keadilannya.

Sidang dimulai. Di hadapan pengadilan, Ali mengemukakan perkaranya, “Baju besi ini adalah milikku, dan aku memiliki saksi.”

Ia kemudian menghadirkan dua saksi: Qanbar, hamba sahayanya yang setia, dan Hasan, putra beliau sendiri. Namun Syuraih, dengan memegang teguh aturan syariat, berkata,
“Kesaksian hamba sahaya dapat diterima. Namun kesaksian anak terhadap ayahnya tidak dapat digunakan dalam perkara ini.”

Ali terdiam sejenak. Beliau tahu Hasan adalah pemuda yang dijamin surga oleh Rasulullah ﷺ, seseorang yang tak mungkin berdusta. Tetapi hukum adalah hukum, ia tak bisa dipengaruhi oleh kedudukan, nasab, atau keutamaan seseorang.

Akhirnya, Syuraih memutuskan:
“Karena tidak ada cukup saksi yang sah, maka keputusan pengadilan menetapkan bahwa baju besi ini tetap menjadi milik pria non-Muslim tersebut.”

Ali mendengarkan keputusan itu dengan tenang. Tidak ada amarah, tidak ada bantahan. Beliau hanya berkata,
“Engkau telah memutuskan dengan adil, wahai Syuraih.”

Begitulah sikap seorang pemimpin sejati. Ia tidak menganggap dirinya berada di atas hukum, tetapi tunduk kepada keadilan yang berlaku bagi seluruh rakyatnya.

Melihat ketulusan dan keadilan yang begitu nyata, pria non-Muslim itu terdiam lama. Air matanya menetes. Ia menatap Ali dan berkata dengan suara bergetar,
“Demi Allah, baju besi ini memang milikmu wahai Amirul Mukminin. Aku hanya ingin melihat bagaimana engkau menegakkan hukum terhadap dirimu sendiri.”

Ia pun menambahkan,
“Dan demi kebenaran yang telah kutemui hari ini, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Pria itu pun memeluk Islam dengan kesadaran penuh, karena ia menyaksikan keadilan yang tidak memihak, bahkan terhadap seorang khalifah.

Kisah ini menjadi pelajaran besar sepanjang zaman. Bahwa keadilan dalam Islam tidak mengenal status, jabatan, atau kekuasaan. Semua manusia setara di hadapan hukum Allah.

Ali bin Abi Thalib menunjukkan kepada dunia bahwa kepemimpinan bukanlah soal kekuasaan, melainkan amanah. Bahwa hukum bukanlah alat untuk menindas, melainkan cahaya untuk menegakkan kebenaran.

================================

Dari kisah ini kita belajar:
Pemimpin sejati tidak mencari kemenangan pribadi, tapi mencari ridha Allah melalui keadilan.
Dan keadilan yang ditegakkan dengan ikhlas bahkan ketika menyakitkan maka akan melahirkan hidayah dan keimanan dalam hati manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *